SD Negeri 05 Madiun Lor adalah salah satu SD negeri yang berada di Jalan Jawa No. 20, Telepon (0351) 454585 yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Madiun Lor, Kecamatan Manguharjo Kota Madiun. SD Negeri 05 Madiun lebih dikenal masyarakat dengan nama “SD Negeri Endrakila”. Berdasarkan memori yang ada, SD Negeri di Jalan Jawa nomor 20 ini dahulu bernama SRLSGB I. Sejak 1 Pebruari 1966 berubah menjadi nama menjadi SDN Endrakila I dan Endrakila II. Dengan Peraturan Pemerintah bahwa nama SD harus sesuai dengan nama Desa / kelurahan, maka sejak tahun 1980 berubah nama menjadi SD negeri Madiun Lor 09 dan SD Negeri Madiun Lor 12. Dengan adanya regrouping menjadi SD Negeri 07 Madiun Lor dan SD Negeri 09 Madiun Lor dan akhirnya dengan adanya regrouping tanggal 11 Agustus 2006 menjadi kedua SD Negeri ini berubah menjadi SD Negeri 05 Madiun Lor.
(www.sekolah-online.net)

Album Foto

Sunday, February 15, 2009

Tradisi Membaca (II - Habis)

Tujuan Membaca

Dengan berinisiatif untuk mengadakan perpustakaan / koleksi buku bacaan di rumah, apa berarti kita telah / ingin mencetak anak menjadi seorang kutu buku? Satu hal yang perlu kita sadari di sini bahwa membaca itu bukan tujuan. Membaca adalah salah satu bekal atau jalan untuk mencapai tujuan.

Tujuannya adalah agar anak-anak kita terbiasa dengan pola hidup yang mengedepankan kapasitas intelektual, nalar yang sehat, mandiri dalam mengambil keputusan, berwawasan luas, dan kaya referensi dalam mengatasi persoalan. Kalau meminjam istilahnya Sternberg dari Yale University, tujuannya adalah agar kita lebih cerdas menghadapi hidup.

Jadi, mau anak kita menjadi kutu buku atau tidak, sejauh praktek hidupnya nanti itu menjadi lebih baik, berarti dia sudah pada track yang tepat. Tapi kalau membaca hanya untuk membaca, ini sama seperti sindiran Kitab Suci yang mengatakan bagai keledai mengangkut buku di kepalanya. Buku itu tak mencerahkan dia, melainkan malah membebani hidupnya.

Supaya anak kita tercerahkan hidupnya dari bacaan, yang perlu kita perhatikan adalah memilih materi bacaan. Kata Jim Rohn, membaca itu sangat penting, tetapi yang lebih sangat penting lagi adalah memilih bacaan yang pas. Biasanya, bacaan yang tidak sesuai dengan keadaan kita hanya berguna dipakai untuk bercakap-cakap atau kurang ngefek pada perbaikan praktek hidup.

Karena itu, koleksi buku yang kita persiapkan di rumah pun perlu kita sesuaikan dengan kebutuhan perkembangan kita atau anak kita. Yang ideal, koleksi buku itu perlu ada bacaan umum (pengetahuan umum) dan bacaan khusus yang sesuai dengan minat, bakat, hobi, atau kebutuhannya, misalnya cerita pahlawan yang membangkitkan, dan lain-lain.

Beberapa Cara Memunculkan Tradisi Membaca

Dengan maraknya hiburan dan tontonan melalui program TV, CD, dll, anak-anak kita mungkin bisa memiliki tradisi yang lebih kurang kondusif lagi dibanding generasi kita bagi kemajuan bangsa ini. Kenapa? Di saat fasilitas hiburan dan tontonan masih belum menjamur seperti sekarang ini saja, tradisi kita bukan membaca, yang merupakan penggerak nalar, tapi nonton dan dengar.

Sebab itu, kita sebetulnya punya kesamaan kepentingan untuk mengimbangi tradisi nonton dan dengar dengan tradisi membaca. Kalau mau jujur, menonton satu tahun belum tentu punya efek yang lebih kondusif bagi perkembangan nalar dibanding dengan membaca satu buku yang pas.

Apa saja yang perlu kita lakukan untuk menumbuhkan tradisi membaca pada anak atau keluarga? Cara-cara di bawah ini mudah-mudahan bisa menambah bantuan:

* Hadiah ulang tahun atau momen penting, seperti kenaikan kelas, jangan melulu berupa pesta atau pakaian. Sekali-kali buku bacaan atau ditambah dengan buku bacaan.
* Oleh-oleh perjalanan jangan melulu makanan atau benda-benda antik. Perlu kita tambah juga dengan buku / bacaan lain
* Tempat hiburan jangan melulu ke mall, restoran, atau semisalnya. Sekali-kali ke perpustakaan, musium bersejarah atau ke toko buku
* Dukung minat anak / keluarga untuk berlangganan majalah atau bacaan sesuai kemampuan dan kebutuhan.Menerima kiriman majalah atas nama sendiri merupakan pengalaman yang menyenangkan
* Sediakan waktu untuk mendengarkan bila anak / keluarga ingin menceritakan isi buku yang telah mereka baca. Anak-anak akan menyukai saat seperti ini.
* Membaca bersama atau bergantian lalu saling menceritakan. Ini akan menantang anak untuk lebih suka membaca.
* Sepakati waktu khusus / disiplin khusus untuk membaca, misalnya sebelum tidur, saat di kendaraan, atau lainnya.

Yang sama sekali tak bisa kita tinggalkan adalah memberi keteladanan. Biar pun fasilitas itu sudah kita sediakan, tapi kalau keteladanannya tidak ada, mungkin ini sulit. Supaya kita bisa memberi teladan, yang perlu kita ubah adalah paradigma. Selama ini, kebanyakan kita menganggap membaca itu sekedar hobi, yang mengandung kesan suka-suka atau sesuai selera, seperti makan bakso. Padahal, membaca itu adalah perintah dan sekaligus kebutuhan bagi jiwa.


Proses Membangun Peradaban

Secara umum, minat baca kita masih tergolong rendah. Bahkan ini tak hanya terjadi pada masyarakat umum. Kelompok masyarakat yang berstatus atau bekerja di bidang-bidang pengetahuan pun, seperti pelajar atau guru, dll, belum secara semarak memiliki tradisi membaca sebagai kebutuhan intelektual.

Padahal, kalau menyimak catatan sejarah, sokoguru membangun peradaban sebuah bangsa itu, katanya, ada tiga. Pertama, keberhasilan mutu pendidikan. Ukurannya bukan menjamurnya kampus yang menawarkan gelar S2 di ruko-ruko, tetapi tingkat keterpelajaran dan keterdidikan generasi.

Kedua, kemajuan ekonomi yang berbasiskan sinergisitas kekuatan SDM dan SDA. Bangunan ekonomi kita katanya sangat rentan terhadap berbagai ancaman. Alasannya, tak ada basis yang kuat dari kedua kekuatan itu. Kinerja SDM kita tak bisa mengimbangi tuntutan industri. Sementara, kita cenderung me-yatim-kan SDA. Akhinya, kita mengekspor TKI dan mengimpor beras.

Ketiga, kesadaran hukum. Ajakan untuk merenungi dosa-dosa di tempat ibadah atau di lapangan itu baik, tetapi tak bisa membangun peradaban apabila tidak ditopang oleh penegakan hukum yang bagus, ekonomi yang bagus dan mutu pendidikan yang bagus.

Tentu, tak mungkink kita menyerahkan ini pada pemerintah melulu. Toh kita sudah tahu pemerintah kita begini keadaannya. Sementara, masih ada kontribusi kita yang sangat vital peranannya yaitu menumbuhkan tradisi membaca di rumah-rumah. Semoga bisa kita jalankan.

Oleh : Ubaydillah, AN
Disadur dari http:\\www.e-psikologi.com

Tradisi Membaca (I)

Membaca Bagi Manusia

Kalau mau jujur, dalam keadaan apapun kita, pasti ada tindakan yang baik, yang benar, atau yang bermanfaat, yang bisa kita lakukan untuk anak-anak kita. Salah satunya adalah perpustakaan di rumah. Perpustakaan di sini tak harus kita pahami seperti layaknya perpustakaan yang sudah kita ketahui.

Mungkin bisa kita sederhanakan menjadi semacam koleksi buku.Yang penting, dari sekian benda / perabot yang kita miliki, perlu ada benda yang namanya buku bacaan. Dari sekian space yang kita pakai di rumah, perlu ada space yang kita pakai untuk membaca. Dari sekian kegiatan di rumah, perlu ada kegiatan yang namanya membaca sebagai tradisi.

Kenapa ini menjadi penting? Kalau melihat perkembangan manusia dari sisi teori dan prakteknya, membaca punya peranan penting bagi manusia. Yang sangat bisa kita rasakan, membaca tidak saja akan menambah pengetahuan kita tentang dunia ini. Membaca juga akan menambah pengetahuan kita tentang diri kita.

Jika merujuk ke istilah dalam psikologi, membaca dapat memperbaiki konsep-diri bagi anak-anak dan orang dewasa. Baik langsung atau tidak, anak-anak yang otaknya sering kemasukan materi positif, misalnya cerita kepahlawanan atau apa saja, pasti materi itu akan ikut aktif membentuk kepribadian, karakter, dan opini si anak tentang dirinya.

Seperti yang sudah sering kita bahas di sini, konsep diri itu terkait dengan tingkat kepercayaan diri, motivasi diri, dan kebahagian diri. Anak yang kurang terinspirasi untuk mengetahui sisi-sisi positif dari dirinya, akan merasa minder atau punya mentalitas lemah, yang sedikit-dikit merasa tidak mampu atau tidak bisa. Konsep diri merupakan modal penting bagi anak-anak untuk meraih prestasi.

Selain itu, membaca juga sudah terbukti dapat memunculkan inspirasi atau refleksi yang merupakan modal penting juga untuk membuat hidup menjadi lebih baik. Detail materi yang dibaca anak kita atau yang kita baca, bisa jadi akan terlupakan. Tapi, pelajaran yang kita serap dari materi itu biasanya akan abadi.

Mungkin hal semacam itu yang bisa menjawab adanya fakta yang tidak berbanding lurus antara kematangan mental dan prestasi akademik. Kalau kita atau anak kita membaca hanya karena tuntutan ujian sekolah (bukan tradisi intelektual), mungkin otak kita tidak sempat berefleksi. Kita memaksa otak untuk menghafal jawaban yang akan ditanyakan.

Padahal, sekeras apapun kita menghafal materi akademik itu, dalam waktu tiga bulan saja sudah lebih dari 60% yang akan hilang (tertimbun). Dalam setahun, mungkin hanya 20-30% yang tersisa. Akhirnya, biar secara akademik kita bagus, tetapi kemajuan mental kita tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Itulah kenapa perpustakaan itu sangat tepat untuk membentuk tradisi berpikir.

Yang terpenting lagi, membaca dapat menambah jumlah koneksi dalam otak anak, seperti yang terungkap dalam berbagai temuan ilmiah. Membaca di sini sebagai stimuli positif. Semakin banyak jaringan yang terbentuk, otak anak akan menjadi semakin responsif dan kreatif.

Dari catatan para ilmuan, seperti dikutip Prof. Quraish Shihab (1994), kemajuan suatu bangsa itu juga diawali dari budaya membaca. Duapuluh tahun sebelum bangsa itu mencapai kemajuan, tradisi membaca sudah mereka mulai. Kalau kita ingin melihat efek nyata dari tradisi membaca yang kita tanamkan pada anak-anak, jangan sekarang. Mari kita lihat duapuluh tahun lagi.

Tempat Jin Berpacaran

Terbukti, dari sejumlah negara yang kini menyalip kemajuan kita, mereka telah memiliki tradisi membaca yang jauh lebih bagus dari kita sejak beberapa tahun lalu. Tahun 1995, yang berarti 14 tahun lalu, buku yang terbit di Indonesia baru mencapai 5000 judul. Sementara, Thailand 8.000 judul, Malaysia 12.000 judul, dan Korea selatan 43.000.

Padahal, negara-negara ini jumlah penduduknya jauh lebih sedikit dibanding kita. Dari 5000 judul yang terbit itu, yang terjual hanya 30.000 eksemplar pertahun. Bandingkan dengan jumlah kaset yang terjual. Tahun 1995 saja, kaset yang terjual di kita sudah mencapai 95 juta keping, sudah melebihi jumlah penduduk usia kerja.

Ada semacam guyonan dari orang Malaysia tentang Indonesia. Dulu, mereka sempat mengirim beberapa pelajar dan guru ke Indonesia untuk belajar. Sekarang-sekarang ini, mereka tidak lagi mengirim, tapi lebih sering mendatangkan tenaga senior dari kita untuk mengajar di sana. Kata guyonan itu, "Dulu, kami belajar dari Indonesia supaya bisa berhasil. Sekarang ini, kami juga masih belajar dari Indonesia supaya tidak terpuruk seperti kalian."

Sampai tahun 2008 kemarin, bicara minat baca kita masih banyak catatan. Jumlah penerbitnya mengalami kenaikan yang cukup tajam, tapi jumlah pembacanya hanya naik secara berlahan. Minat baca masyarakat pun sepertinya lebih karena dorongan tren atau ikut-ikutan ketimbang kesadaran pengembangan-diri yang dilakukan secara kontinyu.

Selain itu, tanda-tanda adanya geliat minat baca juga baru terjadi di beberapa kota besar, 60-80%-nya di Jabodetabek. Kalau kita kunjung ke daerah, toko buku yang besar itu adanya di propinsi. Itu pun tidak besar-besar amat. Nasib perpustakaan pun tidak lebih baik. Beberapa perpustakaan mirip seperti gedung tua yang jarang dikunjungi manusia, laksana tempat jin pacaran.

Itulah kenapa kalau melihat laporan Human Development Index (HDI), ranking kita masih berada di level menengah-bawah. Tahun 2007-2008, kita berada di posisi 107 dari 177 negara. Posisi ini masih kalah dengan tetangga seperti Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand, dan Philipina. Bahkan di beberapa sektor, kita lebih rendah dari Vietnam, Jamaica, dan Algeria.

Peran Ibu Dalam Pengasuhan (II - Habis)


Ibu & Kekerasan


Salah satu isu besar yang diangkat media selama tahun 2007-2008, terkait dengan ibu adalah kekerasan (dan mungkin kekejaman) dalam pengasuhan. Mudah-mudahan, dengan belajar dari kasus yang ada, momen Hari Ibu tahun ini bisa kita jadikan refleksi untuk mencegah itu terulang kembali di tahun berikutnya.

Selama tahun itu, telah terjadi praktek kekerasan dan kekejaman di sejumlah daerah. Ada yang menjual anak kandungnya ke hidung belang, membakar dirinya dan anaknya, membunuh, melakukan praktek yang mengakibatkan kematian dan kecacatan seumur hidup, dan lain-lain. Kak Seto, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, menyebutkan, sebagian besar kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri. Pada 2008, kekerasan fisik terhadap anak yang dilakukan oleh ibu kandung mencapai 9,27 persen. Sedangkan kekerasan yang dilakukan oleh ayah kandung adalah 5,85 persen.

Itu belum lagi kalau mengacu ke Konvensi Hak Anak (KHA) mengenai pengertian kekerasan. Mudah-mudahan angkanya tidak lebih banyak. Dalam Konvensi dinyatakan bahwa yang termasuk kekerasan itu bukan semata kekerasan fisik. Ada kekerasan emosional dan kekerasan dalam bentuk penelantaran

Beberapa perilaku yang masuk dalam kategori kekerasan adalah menghukum secara berlebihan, memukul, menampar, membanting, mengkritik terus menerus, mengancam atau menunjukan sikap penolakan terhadap anak, menyerang anak secara agresif, membiarkannya tumbuh dan berkembang tanpa bimbingan dan pengasuhan yang memadai.

Apa Penyebabnya?

Apa yang menyebabkan seorang ibu melakukan perbuatan yang berlawanan dengan nalurinya sendiri? Dari pendapat sejumlah pakar yang dikutip media, baik cetak atau elektronik, bisa dicatat ada dua pendapat yang berbeda. Pertama, pendapat yang menunjuk faktor eksternal sebagai sebab. Ini misalnya dikaitkan dengan kesusahan hidup yang semakin menghimpit.

Dengan biaya hidup yang semakin mencekik, sementara usaha untuk meningkatkan penghasilan makin susah, dipandang sebagai sebab yang mengakibatkan seseorang mengalami stress. Jika stress itu terus menguat, akibatnya timbul depresi. Jika orang sudah depresi, maka orang itu akan gampang melakukan tindakan nekad yang di luar kontrol.

Ada lagi yang mengkaitkan itu dengan taraf pendidikan masyarakat yang masih rendah. Dengan pendidikan yang rendah, seseorang akan mudah menemui jalan buntu ketika menghadapi problem. Akhirnya, kebuntuan pikiran dan langkah itu mengakibatkan seseorang bertindak "bodoh". Sehingga tersulut oleh kenakalan anak sedikit saja langsung bereaksi kebablasan.

Pendapat dan contoh yang dikemukakan di atas ditampik oleh pakar lain. Katanya, meskipun itu benar, namun tidak bisa dijadikan pembenar. Benar memang kalau orang terhimpit ekonomi, orang itu akan stress. Tapi ini tidak bisa dijadikan pembenar untuk melakukan tindakan nekad. Dan lagi, masih banyak keluarga yang ekonominya bagus dan pendidikannya tinggi tapi masih melakukan kekerasan. Faktor ekonomi dan pendidikan tidak bisa dijadikan ukuran.

Kedua, ada pendapat yang menunjuk faktor internal sebagai penyebab. Ini kerapkali diarahkan pada lemahnya kapasitas internal seseorang dengan istilah yang berbeda-beda. Ada yang menyebut itu sebagai bukti dari lemahnya keimanan, lemahnya kontrol emosi, atau hancurnya mental dan harga diri bangsa ini.

Kalau dilihat dari sisi manusia sebagai makhluk yang berinisiatif dan manusia sebagai makhluk yang bisa dipengaruhi, peranan faktor eksternal itu baru sebatas mempengaruhi atau memicu. Sedangkan peranan faktor internal itu sebagai penentu. Orang itulah yang berinisiatif untuk melakukan kekerasan, bukan faktor ekonomi atau pendidikan rendah.

Cinta Nurani & Cinta Nafsu

Kepada polisi yang menangkapnya, seorang ibu di Bandung yang membekap anaknya sampai meninggal, mengaku itu ia lakukan karena cinta. Saking cintanya dia pada anaknya, maka ia memilih membunuh supaya si anak tidak mengalami kesusahan hidup seperti dirinya. Yang membikin banyak orang bertanya-tanya adalah, cinta seperti apa yang melahirkan tindakan seperti itu?

Kalau kita lihat ke acuan dasarnya, memang semua orangtua, lebih-lebih ibu, pasti punya naluri untuk mencintai anaknya. Tapi, tidak semua cinta itu membuahkan perilaku positif. Kalau kita membelikan televisi yang canggih dan nyaman supaya anak kita lebih lama nongkrong di depan televisi berjam-jam di kamar, belum tentu itu cinta yang positif. Sama juga dengan memanjakan anak berlebihan.

Dengan bahasa yang sederhana bisa kita katakan bahwa cintanya kita pada anak itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: cinta nafsu dan cinta nurani. Cinta nafsu adalah rasa cinta yang digerakan oleh keinginan diri subyektif yang berlebihan atau yang melanggar apa yang benar, apa yang baik, dan apa yang bermanfaat. Sangat mungkin kekerasan itu terjadi karena cintanya kita masih di level nafsu; kita mencintai karena sebatas dorongan keinginan diri subyektif.

Bagaimana dengan cinta nurani? Nur artinya cahaya. Cinta nurani adalah cinta yang sudah mendapatkan cahaya bimbingan dari ajaran kebijaksanaan dan kebenaran, entah itu ajaran agama, ilmu pengetahuan, atau ajaran kebenaran lainnya. Kita baru bisa mencintai anak secara nurani apabila sudah sanggup menundukkan nafsu subyektif kita di bawah nurani.

Privasi Pengembangan Diri

Banyak kaum ibu yang, entah sadar atau tidak, menghilangkan haknya untuk mengembangan diri setelah berkeluarga. Alasannya klasik. Selama 24 jam sehari, waktunya habis untuk mengurus anak, suami, dan keluarga. Menjadi ibu adalah rutinitas seperti lilin - memberi cahaya dengan cara memupuskan dirinya.

Padahal, jika kita tidak meniadakan hak untuk mengembangkan diri, entah karena pilihan atau paksaan, akibatnya tidak kembali selain kepada kita. Secara alamiah, berhentinya aktivitas pengembangan diri bisa membuat dinamika diri jadi statis. Kalau diri yang merupakan gabungan dari dimensi lahir dan batin, jiwa dan raga, menjadi statis, maka kapasitas problem solving juga mentok, tidak ada perkembangan, tidak ada kreativitas, dan akibatnya hidup jadi terus berputar pada lingkaran sebab akibat yang sama. Tak heran jika hidup terasa bosan, hambar, susah, tidak merasa bahagia dan persoalan hidup kok terus itu-itu saja yang muncul.

Intinya, pengembangan diri terkait dengan kualitas hubungan kita dengan diri sendiri, orang lain (anak, suami, keluarga), dan keadaan. Pengembangan diri ini bisa dilakukan dari sekarang juga, terlepas apapun keadaannya. Beberapa hal mendasar dalam pengembangan diri itu antara lain:

* Memunculkan dorongan untuk berubah ke arah yang lebih baik. Begitu kita sudah tak merasa butuh perbaikan, berhentilah pengembangan itu.
* Memperbaiki strategi dalam menghadapi persoalan. Jika kita berpikir kekerasan itu sudah watak kita yang tak bisa diubah, maka kekerasan itulah yang terus kita lakukan. Padahal, semua bisa diubah.
* Membaca materi yang bisa mencerahkan pikiran kita, membaca buku, majalah, tayangan, radio, dan lain-lain; bukan yang sekedar mengasikkan dan melupakan tanggung jawab
* Memperbaiki pemahaman terhadap rutinitas sehari-hari. Rutinitas itu bisa membuat jiwa beku dan bisa membuat jiwa dinamis, tergantung pemahaman yang kita ciptakan.
* Memperluas kemampuan sosial untuk memperbaiki diri, belajar dari orang yang lebih baik dan orang yang lebih buruk, terutama dalam mendidik anak.
* Meningkatkan komitmen terhadap nilai atau ajaran yang sudah jelas-jelas benarnya, baiknya, dan manfaatnya.
* Menambah aktivitas positif, berkumpul dengan orang positif, dan untuk mencapai tujuan positif. Ini akan membuat jiwa kita makin positif.

Apa semua ini terkait dengan kekerasan yang dilakukan oleh dan atau terhadap ibu? Apakah ini pun berpengaruh terhadap pengasuhan ke anak-anak? Kalau melihat teorinya, semakin seorang ibu mendapatkan dan menggunakan haknya untuk menambah ilmu pengetahuan, belajar, bertumbuh, berkarya, bereksistensi, maka semakin luas pengetahuannya dan makin banyak ragam alternatif pendekatan dan tindakan yang bisa dipakai dalam menghadapi kompleksitas hidup. Dengan demikian, bukan hanya potensi kekerasan yang bakal tereduksi, tetapi malahan dapat meningkatkan kualitas ibu serta keluarganya secara umum. Semoga bermanfaat.

Oleh : Ubaydillah, AN
Disadur dari : http:\\www.e-psikologi.com

Peran Ibu Dalam Pengasuhan (I)

Peranan Kaum Ibu

Setiap tanggal 22 Desember, kita jadikan itu sebagai Hari Ibu. Melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959, Presiden Soekarno menetapkan tanggal itu sebagai Hari Ibu. Sejarahnya, penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938.

Ini antara lain untuk menandai momen keterlibatan kaum ibu pada perjuangan kemajuan bangsa yang dinilai sangat banyak. Seberapa banyak peranan ibu bagi kemajuan bangsa? Kalau melihat nama-nama pejuang dari kaum ibu di sejarah, di sana ada Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, dan lain-lain.

Nah, khusus yang terkait dengan pengasuhan anak, yang merupakan generasi penerus perjuangan bangsa, ada refleksi menarik dari Prof. Qurasih yang barangkali pas kita renungkan. Kata ibu yang dalam bahasa betawi disebut "umi", bahasa Arab disebut "ummun", ternyata berasal dari akar kata yang sama dengan kata imam (leader) dan ummat (follower) - Lentara Hati, Mizan, 1994.

Artinya apa? Kalau kita yakin tidak ada kebetulan yang kebetulan di dunia ini, bisa kita katakan bahwa sebetulnya ibulah yang paling dekat atau yang paling berperan vital atas lahirnya pemimpin bangsa atau atas kemajuan bangsa. Di kita sendiri, kata ibu juga kita pakai untuk menyebut hal-hal yang berperan vital atau induk dalam kehidupan, seperti ibu kota.

Beberapa kali saya mendengar pendapat kaum ibu dalam talkshow di radio atau acara yang mengangkat peranan kaum ibu. Sebagian ibu menyimpulkan, jika peran ayah terlalu lemah, atau terlalu kuat, atau bahkan tidak ada sama sekali, keluarga itu masih punya peluang untuk membentuk generasi yang baik, asalkan ibunya masih baik. Tapi bila ibunya yang tidak baik, maka peluang untuk melahirkan generasi yang baik jadi lebih kecil. Begitu katanya.

Barangkali kesimpulan itu bisa saja dibilang subyektif dan tidak berlaku umum. Tapi setidak-tidaknya, kesimpulan semacam itu mengisyaratkan pengakuan betapa vitalnya peranan ibu dalam pengasuhan. Meski secara sosial dan kultural, peranan ibu lebih sering dinomerduakan atau menomerduakan dirinya, setidaknya bagi sebagian orang, tapi secara esensialnya, antara peranan ibu dan ayah tidak ada yang patut disebut nomor dua atau nomor satu.

Di kajian psikologi, ada temuan menarik yang bisa kita pakai untuk mendudukkan peranan ibu dan ayah. Seperti yang dikutip Philip G. Zimbardo, Scott, (1979), dalam bukunya Psychology & Life, ayah punya kontribusi besar untuk memprediksi keberhasilan anak di karier atau studi. Bahkan dinyatakan, peranan ayah lebih powerful ketimbang lembaga akademik.

Kalau ditarik benang merahnya, ibu berperan dalam memperkuat pondasi mental dan moral bagi perkembangan anak. Sementara, ayah berperan mengarahkan terbentuknya bangunan (konstruksi kepribadian) yang terkait dengan kompetensi akademik atau kompetensi profesi. Ini mungkin yang bisa menjelaskan, kenapa orang itu kalau memilih profesi atau pekerjaan kerap mereferensi figur ayah.

Wilayah peranan ibu itu, kalau dijelaskan melalui temuan di bidang kompetensi manajemen, berada di wilayah yang disebut kepribadian inti (core personality). Cakupannya antara lain: nilai, bawaan, dan motif (mental attitude). Kepribadian inti termasuk bagian dari diri kita yang sulit diubah (vital, induk, pokok). Sedangkan wilayah peranan ayah berada di wilayah permukaan (surface) yang mudah diubah. Cakupannya meliputi: pengetahuan, informasi, atau skill.

Buktinya, kalau kita ingin mengubah pengatahuan atau skill seseorang, itu lebih possible (meski tidak mudah), ketimbang harus mengubah sikap mentalnya. Mengubah skill atau pengetahuan, bisa kita kursuskan atau di drill sendiri. Tapi untuk mengubah sikap mental, cara ini tidak berlaku. Mengubah mental butuh pendekatan, keteladanan, kesabaran dan proses yang terus menerus.
Amazon.com

Iklan by AdSense

Amazon.com