Dengan berinisiatif untuk mengadakan perpustakaan / koleksi buku bacaan di rumah, apa berarti kita telah / ingin mencetak anak menjadi seorang kutu buku? Satu hal yang perlu kita sadari di sini bahwa membaca itu bukan tujuan. Membaca adalah salah satu bekal atau jalan untuk mencapai tujuan.
Tujuannya adalah agar anak-anak kita terbiasa dengan pola hidup yang mengedepankan kapasitas intelektual, nalar yang sehat, mandiri dalam mengambil keputusan, berwawasan luas, dan kaya referensi dalam mengatasi persoalan. Kalau meminjam istilahnya Sternberg dari Yale University, tujuannya adalah agar kita lebih cerdas menghadapi hidup.
Jadi, mau anak kita menjadi kutu buku atau tidak, sejauh praktek hidupnya nanti itu menjadi lebih baik, berarti dia sudah pada track yang tepat. Tapi kalau membaca hanya untuk membaca, ini sama seperti sindiran Kitab Suci yang mengatakan bagai keledai mengangkut buku di kepalanya. Buku itu tak mencerahkan dia, melainkan malah membebani hidupnya.
Supaya anak kita tercerahkan hidupnya dari bacaan, yang perlu kita perhatikan adalah memilih materi bacaan. Kata Jim Rohn, membaca itu sangat penting, tetapi yang lebih sangat penting lagi adalah memilih bacaan yang pas. Biasanya, bacaan yang tidak sesuai dengan keadaan kita hanya berguna dipakai untuk bercakap-cakap atau kurang ngefek pada perbaikan praktek hidup.
Karena itu, koleksi buku yang kita persiapkan di rumah pun perlu kita sesuaikan dengan kebutuhan perkembangan kita atau anak kita. Yang ideal, koleksi buku itu perlu ada bacaan umum (pengetahuan umum) dan bacaan khusus yang sesuai dengan minat, bakat, hobi, atau kebutuhannya, misalnya cerita pahlawan yang membangkitkan, dan lain-lain.
Beberapa Cara Memunculkan Tradisi Membaca
Dengan maraknya hiburan dan tontonan melalui program TV, CD, dll, anak-anak kita mungkin bisa memiliki tradisi yang lebih kurang kondusif lagi dibanding generasi kita bagi kemajuan bangsa ini. Kenapa? Di saat fasilitas hiburan dan tontonan masih belum menjamur seperti sekarang ini saja, tradisi kita bukan membaca, yang merupakan penggerak nalar, tapi nonton dan dengar.
Sebab itu, kita sebetulnya punya kesamaan kepentingan untuk mengimbangi tradisi nonton dan dengar dengan tradisi membaca. Kalau mau jujur, menonton satu tahun belum tentu punya efek yang lebih kondusif bagi perkembangan nalar dibanding dengan membaca satu buku yang pas.
Apa saja yang perlu kita lakukan untuk menumbuhkan tradisi membaca pada anak atau keluarga? Cara-cara di bawah ini mudah-mudahan bisa menambah bantuan:
* Hadiah ulang tahun atau momen penting, seperti kenaikan kelas, jangan melulu berupa pesta atau pakaian. Sekali-kali buku bacaan atau ditambah dengan buku bacaan.
* Oleh-oleh perjalanan jangan melulu makanan atau benda-benda antik. Perlu kita tambah juga dengan buku / bacaan lain
* Tempat hiburan jangan melulu ke mall, restoran, atau semisalnya. Sekali-kali ke perpustakaan, musium bersejarah atau ke toko buku
* Dukung minat anak / keluarga untuk berlangganan majalah atau bacaan sesuai kemampuan dan kebutuhan.Menerima kiriman majalah atas nama sendiri merupakan pengalaman yang menyenangkan
* Sediakan waktu untuk mendengarkan bila anak / keluarga ingin menceritakan isi buku yang telah mereka baca. Anak-anak akan menyukai saat seperti ini.
* Membaca bersama atau bergantian lalu saling menceritakan. Ini akan menantang anak untuk lebih suka membaca.
* Sepakati waktu khusus / disiplin khusus untuk membaca, misalnya sebelum tidur, saat di kendaraan, atau lainnya.
Yang sama sekali tak bisa kita tinggalkan adalah memberi keteladanan. Biar pun fasilitas itu sudah kita sediakan, tapi kalau keteladanannya tidak ada, mungkin ini sulit. Supaya kita bisa memberi teladan, yang perlu kita ubah adalah paradigma. Selama ini, kebanyakan kita menganggap membaca itu sekedar hobi, yang mengandung kesan suka-suka atau sesuai selera, seperti makan bakso. Padahal, membaca itu adalah perintah dan sekaligus kebutuhan bagi jiwa.
Proses Membangun Peradaban
Secara umum, minat baca kita masih tergolong rendah. Bahkan ini tak hanya terjadi pada masyarakat umum. Kelompok masyarakat yang berstatus atau bekerja di bidang-bidang pengetahuan pun, seperti pelajar atau guru, dll, belum secara semarak memiliki tradisi membaca sebagai kebutuhan intelektual.
Padahal, kalau menyimak catatan sejarah, sokoguru membangun peradaban sebuah bangsa itu, katanya, ada tiga. Pertama, keberhasilan mutu pendidikan. Ukurannya bukan menjamurnya kampus yang menawarkan gelar S2 di ruko-ruko, tetapi tingkat keterpelajaran dan keterdidikan generasi.
Kedua, kemajuan ekonomi yang berbasiskan sinergisitas kekuatan SDM dan SDA. Bangunan ekonomi kita katanya sangat rentan terhadap berbagai ancaman. Alasannya, tak ada basis yang kuat dari kedua kekuatan itu. Kinerja SDM kita tak bisa mengimbangi tuntutan industri. Sementara, kita cenderung me-yatim-kan SDA. Akhinya, kita mengekspor TKI dan mengimpor beras.
Ketiga, kesadaran hukum. Ajakan untuk merenungi dosa-dosa di tempat ibadah atau di lapangan itu baik, tetapi tak bisa membangun peradaban apabila tidak ditopang oleh penegakan hukum yang bagus, ekonomi yang bagus dan mutu pendidikan yang bagus.
Tentu, tak mungkink kita menyerahkan ini pada pemerintah melulu. Toh kita sudah tahu pemerintah kita begini keadaannya. Sementara, masih ada kontribusi kita yang sangat vital peranannya yaitu menumbuhkan tradisi membaca di rumah-rumah. Semoga bisa kita jalankan.