Peranan Kaum Ibu
Setiap tanggal 22 Desember, kita jadikan itu sebagai Hari Ibu. Melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959, Presiden Soekarno menetapkan tanggal itu sebagai Hari Ibu. Sejarahnya, penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938.
Ini antara lain untuk menandai momen keterlibatan kaum ibu pada perjuangan kemajuan bangsa yang dinilai sangat banyak. Seberapa banyak peranan ibu bagi kemajuan bangsa? Kalau melihat nama-nama pejuang dari kaum ibu di sejarah, di sana ada Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, dan lain-lain.
Nah, khusus yang terkait dengan pengasuhan anak, yang merupakan generasi penerus perjuangan bangsa, ada refleksi menarik dari Prof. Qurasih yang barangkali pas kita renungkan. Kata ibu yang dalam bahasa betawi disebut "umi", bahasa Arab disebut "ummun", ternyata berasal dari akar kata yang sama dengan kata imam (leader) dan ummat (follower) - Lentara Hati, Mizan, 1994.
Artinya apa? Kalau kita yakin tidak ada kebetulan yang kebetulan di dunia ini, bisa kita katakan bahwa sebetulnya ibulah yang paling dekat atau yang paling berperan vital atas lahirnya pemimpin bangsa atau atas kemajuan bangsa. Di kita sendiri, kata ibu juga kita pakai untuk menyebut hal-hal yang berperan vital atau induk dalam kehidupan, seperti ibu kota.
Beberapa kali saya mendengar pendapat kaum ibu dalam talkshow di radio atau acara yang mengangkat peranan kaum ibu. Sebagian ibu menyimpulkan, jika peran ayah terlalu lemah, atau terlalu kuat, atau bahkan tidak ada sama sekali, keluarga itu masih punya peluang untuk membentuk generasi yang baik, asalkan ibunya masih baik. Tapi bila ibunya yang tidak baik, maka peluang untuk melahirkan generasi yang baik jadi lebih kecil. Begitu katanya.
Barangkali kesimpulan itu bisa saja dibilang subyektif dan tidak berlaku umum. Tapi setidak-tidaknya, kesimpulan semacam itu mengisyaratkan pengakuan betapa vitalnya peranan ibu dalam pengasuhan. Meski secara sosial dan kultural, peranan ibu lebih sering dinomerduakan atau menomerduakan dirinya, setidaknya bagi sebagian orang, tapi secara esensialnya, antara peranan ibu dan ayah tidak ada yang patut disebut nomor dua atau nomor satu.
Di kajian psikologi, ada temuan menarik yang bisa kita pakai untuk mendudukkan peranan ibu dan ayah. Seperti yang dikutip Philip G. Zimbardo, Scott, (1979), dalam bukunya Psychology & Life, ayah punya kontribusi besar untuk memprediksi keberhasilan anak di karier atau studi. Bahkan dinyatakan, peranan ayah lebih powerful ketimbang lembaga akademik.
Kalau ditarik benang merahnya, ibu berperan dalam memperkuat pondasi mental dan moral bagi perkembangan anak. Sementara, ayah berperan mengarahkan terbentuknya bangunan (konstruksi kepribadian) yang terkait dengan kompetensi akademik atau kompetensi profesi. Ini mungkin yang bisa menjelaskan, kenapa orang itu kalau memilih profesi atau pekerjaan kerap mereferensi figur ayah.
Wilayah peranan ibu itu, kalau dijelaskan melalui temuan di bidang kompetensi manajemen, berada di wilayah yang disebut kepribadian inti (core personality). Cakupannya antara lain: nilai, bawaan, dan motif (mental attitude). Kepribadian inti termasuk bagian dari diri kita yang sulit diubah (vital, induk, pokok). Sedangkan wilayah peranan ayah berada di wilayah permukaan (surface) yang mudah diubah. Cakupannya meliputi: pengetahuan, informasi, atau skill.
Buktinya, kalau kita ingin mengubah pengatahuan atau skill seseorang, itu lebih possible (meski tidak mudah), ketimbang harus mengubah sikap mentalnya. Mengubah skill atau pengetahuan, bisa kita kursuskan atau di drill sendiri. Tapi untuk mengubah sikap mental, cara ini tidak berlaku. Mengubah mental butuh pendekatan, keteladanan, kesabaran dan proses yang terus menerus.
No comments:
Post a Comment